Cara Menyikapi Makam Palsu Secara Syariat Islam dan Hukum Positif




Munculnya makam palsu di berbagai wilayah, baik sebagai bagian dari tradisi budaya maupun karena adanya motif tertentu, telah menimbulkan kebingungan dan pertanyaan di masyarakat. Dalam Islam, masalah pemalsuan makam, terutama yang dikaitkan dengan tokoh-tokoh agama atau wali, memiliki implikasi serius terkait akidah, sementara dalam hukum positif di Indonesia, pemalsuan makam juga bisa melanggar aturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagaimana cara menyikapi fenomena makam palsu ini secara syariat Islam dan hukum positif? Artikel ini akan membahas langkah-langkah yang bisa diambil berdasarkan kedua perspektif tersebut, dilengkapi dengan dalil-dalil Al-Qur'an, hadis, dan peraturan perundang-undangan.


Menyikapi Makam Palsu Menurut Syariat Islam

Dalam Islam, kuburan atau makam adalah tempat peristirahatan terakhir seseorang yang sudah meninggal. Oleh karena itu, memperlakukan makam dengan hormat dan menjaga kemurniannya adalah bagian dari ajaran Islam. Pemalsuan makam, terutama jika dihubungkan dengan tokoh-tokoh yang dihormati seperti ulama atau wali, memiliki beberapa implikasi serius, termasuk potensi menimbulkan fitnah dan penyimpangan akidah.

Islam sangat menekankan larangan terhadap perbuatan syirik, termasuk penyembahan berhala atau mendewakan tempat-tempat tertentu, seperti makam palsu yang dihubungkan dengan tokoh suci.

Dalam Al-Qur’an disebutkan:

“Dan janganlah kamu berdoa kepada selain Allah, yang tidak dapat memberi manfaat kepadamu dan tidak (pula) dapat mendatangkan mudarat kepadamu; sebab jika kamu berbuat (yang demikian itu), maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Yunus: 106)

Ayat ini mengingatkan kita untuk tidak menjadikan sesuatu selain Allah sebagai objek pemujaan. Jika makam palsu dijadikan sebagai tempat untuk meminta pertolongan atau keberkahan, maka ini bisa jatuh pada praktik syirik, yang merupakan dosa besar dalam Islam.

Tindakan yang Tepat Menurut Syariat:

  1. Verifikasi Kebenaran
    Dalam menghadapi isu makam palsu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah memverifikasi kebenaran informasi. Apakah benar makam tersebut merupakan makam yang asli atau hanya klaim palsu? Hal ini penting untuk menghindari fitnah dan menjaga kemurnian ajaran Islam. Rasulullah SAW bersabda:

    “Tinggalkanlah apa yang meragukanmu, dan ambillah apa yang tidak meragukanmu.” (HR. Tirmidzi)

  2. Meluruskan Niat Ziarah
    Islam menganjurkan ziarah kubur untuk mengingatkan kita pada kematian dan kehidupan akhirat, bukan untuk meminta kepada yang sudah wafat. Rasulullah SAW bersabda:

    “Ziarahilah kubur, karena ziarah kubur itu dapat mengingatkan kamu kepada akhirat.” (HR. Muslim)

    Jika ziarah kubur dilakukan dengan niat yang salah, seperti mengharapkan berkah dari kuburan, maka ini bisa menjerumuskan pada perbuatan syirik. Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk meluruskan niat dalam berziarah.

  3. Melaporkan kepada Pihak Berwenang
    Jika terbukti bahwa sebuah makam adalah palsu dan dijadikan sebagai tempat pemujaan atau penyimpangan akidah, tindakan selanjutnya adalah melaporkan hal ini kepada otoritas agama atau pihak berwenang. Mereka yang memiliki wewenang dapat mengambil tindakan untuk meluruskan keadaan dan memberi edukasi kepada masyarakat terkait bahaya pemalsuan makam.


Menyikapi Makam Palsu Menurut Hukum Positif

Dalam konteks hukum positif di Indonesia, makam palsu dapat melibatkan beberapa aspek hukum, seperti pemalsuan, penipuan, dan pelanggaran tata ruang. Pemalsuan makam, terutama jika digunakan untuk tujuan komersial atau pengelabuan, bisa dikenakan sanksi pidana.

  1. UU Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999)
    Jika makam palsu dibuat dan dimanfaatkan untuk tujuan komersial, seperti menarik pengunjung atau memperoleh keuntungan materi, ini bisa dikategorikan sebagai penipuan konsumen. Pasal 8 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan deskripsi atau label yang diberikan.

  2. KUHP Pasal 378 Tentang Penipuan
    Pemalsuan makam juga dapat diancam dengan pasal 378 KUHP tentang Penipuan, di mana seseorang dengan sengaja membuat makam palsu untuk menipu masyarakat atau meraih keuntungan finansial dapat dikenakan hukuman pidana.

  3. UU Cagar Budaya (UU No. 11 Tahun 2010)
    Jika makam tersebut diklaim sebagai bagian dari warisan sejarah atau cagar budaya, tetapi ternyata palsu, maka ini melanggar UU Cagar Budaya. Pemalsuan situs budaya atau sejarah bisa mengancam kelestarian warisan budaya dan bisa dijerat dengan sanksi pidana.

  4. Pelanggaran Tata Ruang
    Selain itu, pembangunan makam tanpa izin atau di lahan yang tidak sesuai peruntukannya juga melanggar aturan tata ruang yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Pelanggaran ini dapat dikenai denda atau hukuman administratif sesuai dengan peraturan yang berlaku.


Tindakan yang Tepat Menurut Hukum Positif:

  1. Laporkan kepada Aparat Penegak Hukum
    Jika menemukan makam palsu yang digunakan untuk tujuan penipuan atau komersial, masyarakat berhak melaporkan hal ini kepada pihak berwenang seperti kepolisian atau dinas terkait yang mengawasi situs budaya. Pihak berwenang akan melakukan investigasi dan mengambil tindakan hukum jika terbukti ada pelanggaran.

  2. Edukasi Masyarakat
    Selain melaporkan, penting juga untuk memberikan edukasi kepada masyarakat agar tidak mudah tertipu oleh klaim-klaim terkait makam yang belum terverifikasi. Edukasi ini bisa dilakukan oleh tokoh agama, aparat pemerintah, atau lembaga masyarakat.

  3. Pendekatan Sosial dan Kultural
    Mengingat banyak makam palsu yang mungkin muncul dari kepercayaan atau adat setempat, perlu dilakukan pendekatan sosial dan kultural yang bijak. Tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan pendekatan hukum semata. Melibatkan tokoh masyarakat dan pemimpin adat dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat setempat seringkali lebih efektif.


Kesimpulan

Fenomena makam palsu perlu disikapi dengan bijaksana baik dari sisi syariat Islam maupun hukum positif. Dalam Islam, pemalsuan makam bisa menimbulkan bahaya penyimpangan akidah, khususnya jika dijadikan sebagai tempat pemujaan yang berpotensi menyebabkan syirik. Oleh karena itu, umat Islam dianjurkan untuk memverifikasi keaslian makam, meluruskan niat saat berziarah, dan melaporkan kepada otoritas jika ada indikasi penyimpangan.

Dari sisi hukum positif, pemalsuan makam yang melibatkan penipuan atau pelanggaran hukum bisa dikenai sanksi pidana. Dalam hal ini, masyarakat diharapkan untuk melaporkan temuan makam palsu kepada aparat hukum dan bekerja sama dengan pihak terkait untuk menegakkan hukum serta memberikan edukasi kepada masyarakat.

Dengan pendekatan yang bijak, fenomena makam palsu dapat ditangani dengan baik, sehingga tidak menimbulkan dampak negatif baik bagi keyakinan agama maupun ketertiban hukum.


FAQ:

  • Bagaimana Islam memandang makam palsu?
    Islam melarang praktik pemujaan terhadap makam, apalagi jika makam tersebut palsu, karena bisa menjerumuskan pada perbuatan syirik.

  • Apa hukuman bagi pembuat makam palsu dalam hukum Islam?
    Pembuat makam palsu yang menyebabkan orang lain melakukan syirik atau penyimpangan akidah dapat mendapat dosa besar, dan dalam beberapa kasus bisa dianggap melakukan bid’ah yang tercela.

  • Apa tindakan yang harus diambil jika menemukan makam palsu?
    Sebaiknya lakukan verifikasi terlebih dahulu, kemudian laporkan kepada otoritas agama atau hukum jika ditemukan pelanggaran, baik syariat maupun hukum positif.

  • Apakah makam palsu dapat dikenakan sanksi hukum?
    Ya, makam palsu dapat dikenakan sanksi hukum jika terbukti melanggar UU Perlindungan Konsumen, KUHP tentang penipuan, atau peraturan tata ruang.

  • Bagaimana cara meluruskan ziarah kubur yang benar dalam Islam?
    Ziarah kubur yang benar adalah dengan niat untuk mengingat kematian dan mendoakan yang telah meninggal, bukan untuk meminta berkah atau pertolongan dari penghuni kubur.

Posting Komentar

0 Komentar

Comments